Dituding Miliki Pola yang Sama dengan Orde Baru, "Tolaklah Tambang, Kau Kutangkap"

Selasa, 22 Februari 2022

Foto: Merdeka.com

JAKARTA, PANTAUNEWS.CO.ID - Eskalasi konflik pertambangan di era Presiden Jokowi terus meningkat. Corak pemerintahannya yang represif dituding memiliki pola yang sama dengan Orde Baru.

Tindakan represif terulang di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah. Ratusan polisi menyelimuti Desa Wadas, Senin, 7 Februari 2022. Mereka mendampingi Badan Pertanahan Nasional yang melakukan pengukuran lahan milik warga. Lahan itu akan diledakkan dan diambil materialnya untuk proyek ambisius pemerintahan Presiden Jokowi: Bendungan Bener.

Sebanyak 60 warga, aktivis, dan pengacara publik LBH Yogyakarta yang menolak penambangan diringkus polisi bersenjata lengkap. Di kantor Kepolisian Resor Purworejo, polisi menyita ponsel, mencatat identitas, serta merekam sidik jari mereka. Ditambah, terjadi pemadaman jaringan listrik dan komunikasi seluler di desa itu.

Poster-poster penolakan penambangan dan bendera Gerakan Pencinta Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) yang terpajang di sepanjang jalanan Desa Wadas praktis dilucuti. Salah satu pemuda Wadas yang enggan disebutkan namanya menduga pencopotan poster dan bendera Gempa Dewa merupakan ulah polisi.

“Peristiwa kemarin itu bisa dibilang yang paling parah,” ujarnya.

Sudah seminggu lebih semenjak peristiwa represif yang dilakukan oleh aparat terjadi. Namun hingga kini sejumlah warga masih mengalami trauma yang mendalam. Yoyok—bukan nama sebenarnya—warga asli Wadas, mengungkapkan sebagian tetangganya tidak berani kembali ke rumah. Ada pula yang hanya mengurung diri di rumah dan tidak berani pergi ke sawah. Selain itu, beberapa anak-anak Wadas masih takut pergi sekolah karena trauma.

Skema pengadaan tanah ini hanya bisa terbit untuk proyek-proyek kepentingan umum. Tambang itu tidak masuk UU Pengadaan Tanah. Karena tambang itu berada dalam rezim UU Minerba. Jadi misalnya pun seluruh warga setuju, apakah bisa serta-merta (tanah Desa Wadas) dijadikan tambang? Ya nggak bisa, dong.”

“Kekerasan tersebut nggak pernah terbayang dalam benak warga sebelumnya. Makanya banyak warga trauma. Kan bukan hal yang wajar bagi warga melihat ribuan aparat masuk ke desa. Hal tersebut membuat warga cemas dan resah,” kata Yoyok pekan lalu.

Rumah Yoyok dikepung 10 polisi, pintunya dijebol, anggota keluarganya dipaksa keluar oleh polisi. “Kok bisa ya negara tega kayak gitu,” kata Yoyok lirih.

Kepala Hubungan Masyarakat Kepolisian Jawa Tengah Komisaris Besar Iqbal Alqudsy membantah soal polisi menyita ponsel. Soal penangkapan 60 warga, Iqbal juga berkilah. Menurutnya, warga ditangkap akibat terlibat perselisihan dengan warga yang mendukung proyek Bendungan Bener. Dia bilang, setelah ditangkap, warga diberi sembako dan sumbangan tali asih.

Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Zainal Arifin mengatakan pemerintah secara sengaja mengingkari ketentuan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang jelas menyebut Wadas adalah kawasan perkebunan. Juga mengingkari mekanisme aturan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Akhirnya, untuk menerobos proyek pertambangan batuan andesit, pemerintah menggunakan skema Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum, yang termaktub dalam UU Nomor 2 Tahun 2012.

“Skema pengadaan tanah ini hanya bisa terbit untuk proyek-proyek kepentingan umum. Tambang itu tidak masuk UU Pengadaan Tanah. Karena tambang itu berada dalam rezim UU Minerba. Jadi misalnya pun seluruh warga setuju, apakah bisa serta-merta (tanah Desa Wadas) dijadikan tambang? Ya nggak bisa, dong,” jelas Zainal.

Kekerasan yang terjadi di Wadas ini berulang. Sekitar satu tahun sebelumnya, pada hari kesepuluh bulan puasa 2021, dalam posisi duduk sambil berselawat, sekelompok warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, menghadang beberapa mobil yang berisi anggota kepolisian dan TNI pada Jumat, 23 April 2021.

Akses jalan menuju Desa Wadas telah diblokir dan dibentangkan spanduk bertulisan “Kami Tetap Menolak Perpanjangan SK IPL (Izin Penetapan Lokasi) Tambang”. Batang pohon yang telah dipersiapkan warga sejak pagi menghalangi akses jalan. Hari itu kedatangan aparat ke Desa Wadas bertujuan untuk sosialisasi pemasangan pancang pertambangan batu andesit, yang merupakan satu kesatuan dengan proyek strategis nasional pembangunan Bendungan Bener.

Pihak aparat kontan memaksa masuk dengan mengarahkan gergaji mesin ke warga. Mereka tak goyah, warga mempertahankan posisinya. Aparat akhirnya memaksa masuk menggunakan cara-cara kekerasan, seperti menarik, mendorong, dan memukul warga.

Dari video Instagram yang diunggah oleh akun @Wadas_Melawan, sejumlah ibu-ibu yang berada di formasi paling depan sedang berzikir pingsan. Tak sedikit pula warga yang mengalami luka-luka. Sebanyak 12 orang, termasuk warga serta pendamping hukum dari LBH Yogyakarta, akhirnya ditangkap polisi.

Pola Represif Berulang di Era Jokowi
Pola-pola represif dan penangkapan yang dialami oleh warga Desa Wadas bukan merupakan barang baru. Sepanjang 2014 hingga 2019, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat terdapat 33 kasus kriminalisasi dan tindakan represif polisi terhadap warga serta aktivis antitambang di Indonesia.

Sementara itu, warga negara yang menjadi korban kriminalisasi sebanyak 200 orang. Konflik masyarakat penolak tambang dengan pemerintah dan perusahaan tambang selama rezim Jokowi tercatat sebanyak 71 konflik.

Kasus-kasus tersebut terjadi pada lahan seluas 925.748 hektare atau mendekati dua kali luas wilayah administratif Brunei Darussalam, yakni 576.500 hektare.

Aksi petani Kendeng merupakan salah satu dari rentetan konflik tambang tersebut. Solidaritas perlawanan warga mulai mengakar sejak 2006. Mereka melawan dua bakal calon perusahaan yang berminat mendirikan pabrik semen: PT Semen Indonesia dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.

Ketika warga mendengar akan ada hajatan peletakan batu pertama pembangunan pabrik pada 16 Juni 2014, sekelompok ibu-ibu petani Rembang atau Kartini Kendeng melakukan aksi penghadangan alat berat dan truk jumbo. Itu alat transportasi pengangkut bahan-bahan material yang akan masuk ke kawasan pabrik. Protes itu dilakukan karena sosialisasi kepala daerah tanpa melibatkan satu pun warga Kendeng. Lalu tak ada transparansi soal dokumen amdal kepada warga.

Awalnya polisi menggotong ibu-ibu ini ke luar pabrik. Salah satu warga desa bernama Murtini mengaku badannya digotong polisi, lalu dilempar ke semak berduri hingga dirinya pingsan. Beberapa korban lainnya mengalami luka-luka akibat aksi pelemparan polisi tersebut.

Dalam aksi pertama warga Kendeng tersebut, tanpa senjata, mereka menghadapi polisi yang bersenjata lengkap. Kericuhan pun meledak, sejumlah ibu-ibu dipiting polisi. Alat demonstrasi yang mereka bawa, seperti spanduk dan alat tani, juga disita. Perlawanan mereka berumur panjang dan merangsek ke gugatan hukum hingga Mahkamah Agung.

Begitu juga peristiwa yang terjadi di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Pada Sabtu, 12 Februari 2022, salah seorang pendemo warga Kecamatan Tinombo Selatan, Refaldi, tertembak di dada. Remaja berusia 21 tahun ini meninggal dunia. Tuntutan demonstran ini menolak konsesi tambang emas PT Trio Kencana.

Sebelumnya, 700 warga penolak tambang emas dari Kecamatan Kasimbar, Kecamatan Tinombo Selatan, dan Kecamatan Toribulu menggelar aksi. Mereka memblokade jalan Trans Sulawesi.

Penolakan warga sebenarnya terjadi sejak 2011. Kala itu, setahun sebelumnya, PT Trio Kencana mengantongi izin usaha pertambangan (IUP). Warga menolak pertambangan emas karena mereka khawatir akan kehilangan sumber air bersih yang akan masuk ke dalam konsesi tambang.

Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Zainal Arifin menuturkan banyaknya corak persamaan rezim Jokowi hari ini dengan Orde Baru. Dengan dalih pembangunan untuk kesejahteraan rakyat, akhirnya perizinan usaha dan investasi diloloskan secara sepihak.

Kawasan pertanian produktif, yang merupakan mata pencarian utama warga, mendadak disulap menjadi kawasan tambang. Kawasan lindung karst, yang seharusnya dilindungi demi terciptanya keseimbangan lingkungan, akhirnya malah dibasmi demi mempermudah investasi.

Stigma-stigma antinasionalis, anarko, radikal, dan komunis terhadap mereka yang menolak tambang, kata Zainal, dimainkan kembali.

“Situasi hari ini, narasi yang dimainkan nggak ada bedanya ketika Orba. Bagaimana kesejahteraan dapat terwujud dengan melakukan penindasan terhadap warga lain?” tuturnya.

Mantan Direktur LBH Semarang itu juga menyayangkan sikap pemerintah yang sering menjadi lawan bagi warga negaranya sendiri. Menurutnya, seharusnya pemerintah menjadi pihak yang netral.

“Dalam proses pertambangan, pemerintah itu memegang fungsi kontrol dalam perizinan itu sendiri. Pemerintah kan sudah menetapkan posisi tata ruang pertambangan dalam peta. Makanya seharusnya tambang itu konfliknya hanya dengan perusahaan saja. Jangan malah menyiasatinya dengan perubahan alih fungsi lahan,” ujarnya.

Atas nama investasi dan pembangunan infrastruktur, lanjut Zainal, rakyat yang menolak pembebasan tanahnya terus-menerus menjadi korban. “Bagaimana kesejahteraan dapat terwujud dengan melakukan penindasan terhadap warga yang kontra? Menjaga manusia satu dengan mematikan manusia lainnya, itu kan nggak bisa,” pungkasnya. (*)