Minyak Menjerit Di Lumbung Sawit, Perlukah Teliti dan Revisi?

Senin, 11 April 2022

Oleh: Rehan Fadhlia

BANDA ACEH, PANTAUNEWS.CO.ID - Rehan Fadhlia, Mahasiswi jurusan ilmu politik FISIP – Unversitas Syiah Kuala Banda Aceh. Menyampaikan opininya tentang Minyak menjerit meski di lumbung Sawit.

Mengejutkan di awal tahun 2022, harga pasar minyak goreng menjadi dilema, ditengah-tengah masyarakat. Sejumlah pasar tradisional maupun ritel modern mengalami kelangkaan persediaan dikarenakan harga yang melonjak.

Di Indonesia minyak goreng menjadi salah satu komoditas utama dengan tingkat konsumsi yang besar dan menjadi kebutuhan pokok masyarakat setiap harinya. Tak heran sulitnya Persediaan hingga tingginya harga membuat publik tak berdaya.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), mencatat pada tahun 2020 produksi minyak sawit mencapai 47.034 juta ton, dan mengalami sedikit penurunan di tahun 2021 yang menyentuh angka 46.888 juta ton.

Meskipun produksi mengalami penurunan, tingkat konsumsi tetap mengalami peningkatan. Berdasarkan Survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), persentase konsumsi minyak goreng untuk kebutuhan rumah tangga meningkat setiap tahunnya sebesar 2.32 persen.

Menghadapi persoalan yang terjadi, strategi menjadi jalan penyelesaian. Intervensi pemerintah dalam menstabilkan harga sangatlah penting mengingat permasalahan kebutuhan yang  satu ini berperan besar dalam menyumbang inflasi.

Dihilangkannya minyak goreng curah hingga penerapan minyak goreng subsidi nyatanya tidak menjadi peredam. Harga yang semakin meningkat justru melahirkan ketidakpastian bagi masyarakat. Lemahnya kendali pemerintah membuat kebijakan sekedar angin lalu dan terkesan tidak efektif.

"Pemerintah kurang teliti dalam mengatur strategi, menghilangkan minyak goreng curah bukanlah solusi," ujarnya. Senin, (11/04/22).

Faktanya minyak goreng curah lebih mudah didistribusikan kepada masyarakat. Penerapan kebijakan subsidi minyak goreng juga bukan langkah tepat ini justru mengakibatkan semakin terbatasnya persedian minyak goreng di pasar dan membuat kelangkaan tidak terselesaikan.

Yang semakin mengkhawatirkan persoalan semakin terkesan mainan, mengingat eksistensi Indonesia sebagai penyumbang dan penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Namum terkesan dihadapkan pada kesulitan, publik menjerit minyak sawit lumpuh di lumpung sendiri. Sungguh menggelitik bak pepatah tikus mati di lumpung padi.

Lalu siapa yang disalahkan? Bagaimana politik berperan dalam persoalan dan bagaimana kekuasaan bermain di tengah terpaan. Pemerintah  terlalu sibuk mengatur wacana kebijakan yang hanya melayang hilang sebelum sampai tujuan. Memang tidak dapat disalahkan sepenuhnya, kendali pemerintah seolah terhisap tajamnya arus kapitalis yang bermain sumar dalam penguasaan pasar. Mengutamakan kesejahteraan rakyat terancam lenyap ketika kepentingan Elite berselubungkan oknum mengambil jalan pintas ditengah kesulitan yang belum tuntas.

Ironisnya kasus mafia minyak menambah deretan panjang prahara yang belum usai. Kecurigaan publik terjawab ketika pemerintah bergerak melakukan operasi pasar. Berbagai kejahatan di Praktekan mulai dari penimbunan hingga pemalsuan minyak goreng.

Menurut hasil laporan Tim Satgas Pangan Bareskrim Polri terdapat di berbagai titik operasi di empat provinsi diantaranya Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Jawa tengah. Dengan kasus yang berbeda beda.

Momen Genting seperti ini dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab dengan mengalihkan distribusi minyak goreng yang seharusnya untuk kebutuhan rumah tangga dialihkan kepada pengusaha industri sehingga terjadi penumpukan minyak ketika stok minyak goreng di pasar langka.

Masih menurut data yang didapatkan dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KKPU), dugaan penimbunan minyak goreng di Deliserdang yang menyeret konglomerat Anthory Salim perlu di dalami lebih lanjut guna menuntaskan persoalan yang sebenarnya.

Kini telah memasuki bulan Maret harga minyak goreng masih terbang tinggi. Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dengan mencabut Harga Enceran Tertinggi untuk minyak goreng kemasan.

Goyangnya kebijakan pasar menambah kekhawatiran publik yang menilai harga akan semakin melambung hingga Ramadhan mendatang. Dicabutnya HET minyak goreng dan menetapkan harga nilai keekonomian nyatanya membuat harga pasar Semakin kacau.

Pedagang dengan mudah memainkan harga menyesuaikan modal, pajak dan sebaiknya. Menyikapi peristiwa hari ini diharapkan pemerintah dapat bergerak cepat.

Kelangkaan minyak goreng menjadi beban publik yang terus dirasakan. Berbagai lapisan masyarakat ikut merasakan dampak terlebih untuk masyarakat menengah ke bawah seperti para penjual gorengan dan masyarakat yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. (Juliadi)